DIA YANG ISTIMEWA


DIA YANG ISTIMEWA

Membaca kisah Max Miller  bocah autis  dari Colorado mengingatkan ku dengan seorang murid pendiam.  Dengan menyerumput kopi panas, ingatanku mulai terusik. Bagaimana bisa dimasa pandemi ini , seorang anak yang sering  dibuly.  Punya inisiatif belajar secara luring di sekolah. 

Pada ajaran baru sekolah , kita tidak kaget lagi jika kebijakan diambil untuk melakukan pembelajaran secara PJJ.  Demi kesehatan bersama. Itulah alasannya. Setiap pagi guru-guru dan pegawai selalu datang kesekolah sesuai dengan jam kerja. Sama seperti  pagi  itu. Cuaca agak mendung sehingga aku terburu-buru berangkat  ke sekolah bersama suami. Keadaan sekolah masih sepi. Ku beranikan diri melewati gerbang sekolah. Dengan menarik napas panjang ku amati sekeliling halaman “ Ah… sepi dan gelap.” Gumamku. Bulu kuduk mulai berdesir .

“ Semoga aman…” maklum kata orang sekolahku SMP Negeri 1 Negara  angker.

Selesai melakukan absensi , ku terkejut. Ada seorang anak duduk di depan ruang lab Biologi. Ku sapa, dia diam. Tatapannya kosong. Selesai membersihkan ruangan akhirnya guru-gur pada datang.  Dari salah satu teman , akhirnya kejanggalan ini terjawab. Ternyata dugaanku benar. Inilah anak istimewa yang bersekolah di tempat kami.

Sambil mengajar IPA secara daring melalui WA pada kelas yang ku ampu ,  perhatianku  terus ke anak  itu. Kebetulan dia belajar dihalaman yang terjangkau WFI. Nampak tanganya begitu kaku untuk menekan tombol  HP.  Setelah jam belajar berakhir, anak itupun pulang berlalu begitu saja melewati guru-gurunya. “ Ini tidak benar. Masa tidak bisa member  salam ?”

Keesokan pagi-pagi sekali anak ini sudah di sekolah. Ku coba menyapanya. Dia menjawab pelan sambil menatap . Tatapannya seakan berkata “ Ibu , apa yang harus saya lakukan?” 

Akhirnya kutanya “ apa bisa menyapu?”

“ Bisa.” Jawabnya singkat dan datar.

Bergegas ku berikan dia sapu. Ku ajak dia menyapu halaman di depan ruanganku yaitu Lab Biologi. Ternyata dia bisa walaupun denga susah payah karena jari tangannya agak kaku. Selanjutnya dia mulai mencari guru BK pendampingnya  untuk belajar. Dan akupun sibuk dengan kelasku di dunia maya.

Hampir setiap pagi anak ini selalu hadir dan  duduk di teras, depan ruanganku. Seperti biasa setelah melihat aku datang dia pasti mengambil sapu dan menyapu halaman  sekolah. Ternyata apa yang kita tugaskan akan selalu diingat dalam memorinya. Karena itulah aku mulai berani mengajaknya ngobrol. Ku puji kerajinanya. Responnya tetap datar dan  Cuma bilang “Ya”.

Dari perbincangan kami pagi itu. Ternyata dia juga punya cita-cita. Bukan ingin jadi dokter ataupun  presiden. Melainkan pembisnis hebat , agar banyak uang.  Untuk mencapai cita –citanya makanya dia datang ke sekolah. Mungkin ini prinsipnya. Kita tidak bisa melarangnya walaupun sekarang dia sudah fasih  belajar secara daring.

Semenjak sering mengobrol di sela-sela jam belajar luringnya, aku semakin merasakan semangat anak ini. Dibalik kekurangannya ada sifat istimewa yang tersimpan. Cita-citanya besar. Memiliki tanggung jawab atas tugasnya. Dia tidak pernah melewatkan pembelajaran dari setiap guru. Yang membuatku bangga dia sudah mampu pamitan kepada guru saat jam belajar usai.

Jangan menyerah nak .  Aku tahu dirimu bisa seperti yang lain. Hanya caramu yang sedikit berbeda dalam merespon. Tetap semangat. Kelak dirimu pasti jadi pembisnis hebat.

 

 

 

#Day4AISEIWritingChallenge#

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer