MBAH GUNUNG
MBAH
GUNUNG OLEH : kade yuli
Api
tungku masih membara seakan berusaha menghangatkan udara pagi yang sangat
dingin. Di dalam gubuk dapur berdinding kayu tebal, cirri kebanyakan rumah di
daerah pegunungan. Seorang perempuan yang selalu dipanggil Mbah gunung oleh
cucunya, nampak sedang menghangatkan tubuh di depan perapian. Sesekali ditambahkannya
kayu kopi kering ke mulut perapain.
Tubuh
mungilnya yang nampak kering karena usia nampak penuh semangat menjalankan
kehidupan selanjutnya. Ya…Mbah Gunung memang terkenal di kampung. Dia begitu
lincah berjalan di pegunungan. Tak pernah menggunakan sandal bepergian. Terlalu
boros dan merepotkan menurutnya. He…he…he mungkin dia kasihan menggunakan
uangnya untuk beli sandal. Keseharian sukanya menggunakan kamben dengan baju
kebaya. Menggunakan handuk sebagai tengkuluk ( handuk yang dililitkan sebagai penutup
kepala).
“Yu....sudah
bangun?” sapa Mbah Gunung saat seorang gadis kecil bernama Ayu mendekatinya.
Dia cucunya yang kebetulan setiap hari libur datang kerumah Mbah Gunung. Ayu
mengangguk sambil menguck matanya. Lalu berjongkok disamping si mbah.
“Kalu
mau makan gorengan, ini parut dulu tiga butir kelapa. Nanti mbah buatin pisang
goreng.” Kata Mbah Gunung sambil menyodorkan tiga butir kelapa lengkap dengan
parutannya. Dengan setengah hati di gapainya parutan itu. Tangan kecil ayu
menggenggam juringan kelapa. Tak lama ia pun tenggelam dalam suara parutan. Sesekali
nampak ayu menghalau ayam-ayam yang datang berkerumun mendekat karena ada
beberapa parutan kelapa terhambur dari parutannya.
“Hus..hus….hus….!”
suara ayu lirih mengusir ayam-ayam
“Aduh…..!”
ayu meringis tangannya kena sedikit parutan. Dengan cepat dimasukkannya jari
yang terluka ke mulut. Dikulum sebentar dan dia mulai memarut lagi.
“Hati
–hati….konsentrasi pada parutan, lengah sedikit ya begitu. Ah….Cuma luka kecil
itu tak seberapa. Nanti kalau besar kamu biar bisa kerja Yu.” Kata Mbah Gunung,
rupanya dia mengamati cara Ayu memarut kelapa.
Hampir
satu jam sudah Ayu memarut kelapa baru selesai. Dia pun menyodorkan hasil
parutannya ke si mbah. Senyumnya mengembang
membayakan parutannya nanti jadi minyak tandusan. Tangan simbah begitu kuat
memeras parutan kelapa hingga menjadi santan.Tak lama si mbah sudah sibuk
dengan rebusan santan diatas tungku.
“
Yu kalau mau mandi ke bulakan ingat bawa ember no 3. Di pulangnya ingat bawa
air.” Pesan si mbah pada Ayu.
Ember
no 3 itu besar , bagaimana aku bisa gerutu Ayu dalam hati. Tapi kalu tidak di
turutin entar si embah cerita ke cucunya yang lain.
“
Yu….ayo ke bulakan.” Suara lembut memanggilnya, ternyata si Bibi Siti sudah
berdiri di belakangnya. Mereka pun berangkat mandi dengan menenteng dua ember. Satu
ember tempat membawa air bersih dan satunya lagi untuk membawa cucian.
Bibi
Siti merupakan anak no 7 dari Mbah Gunung. Saat itu juga kebetulan pulang
karena dapat libur dari tempatnya bekerja di Denpasar. Tempat mandi penduduk di
daerah Pupuan memang disebut bulakan. Yaitu sumur-sumur kecil yang muncul di
tebing batu dan menghasilkan air rembesan dari tanah. Airnya bening sehingga
sering dikonsumsi oleh penduduk.
Dengan
langkah semangat Ayu membuntuti Bibinya dari belakang. Karena jalannya hanya
setapak jadi tidak bisa jalan berjejer. Kalau papasan harus ada yang mau ngalah
menepi dengan bersender di salah satu tebing.
Bersyukur
pagi itu tidak hujan dan nampak dengan jelas keindahan tebing yang di lalui. Dengan
bernyanyi kecil Ayu mengamati sekeliling. Ember kosong di tangannya
bergoyang-goyang tertiup angin. Nampak lembah bak permadani. Suara burung
bersahutan sesekali dilihatnya tupai berloncatan mencuri buah kelapa.
“
Awas….!”
“Brak….!’
Suara dahan pohon kelapa kering jatuh dari ketinggiannya. Memecah lamunan Ayu
saat itu.
“
Bersyukur tidak kena, hup…hup…hup.” Kata Bibi Siti sambil mengelus kepala Ayu. Dan
akhirnya sampai di Bulakan.
“
Hore….masih sepi!” jerit Ayu ke girangan . Dia bersorak karena tak perlu
mengantre. Maklum Bulakan itu menjadi tempat pemandian umum.
Kepalanya
teras sedikit tertekan , mungkin karena menjinjing air dari ember. Maklum Ayu
belum terbiasa. Dada bak dihimpit beban beberapa kilo dan jalannya Ayu menjadi
terseok-seok untuk mengimbangi tubuh yang mulai tak seimbang saat berjalan.
Air
ini sangat di perlukan si mbah. Terbayang pisang goreng hangat akan menantinya
di rumah. Membuat Ayu berusaha berjalan menapaki tanah terjal diantara
perkebunan orang-orang desa.
Benar
saja setelah menuang air dijeding. Ayu mencium aroma khas dari minyak tandusan.
Apa daya kakinya tak mampu melangkah lagi. Lelahnya begitu menguras energinya.
Ternyata tadi juga Ayu lupa sarapan. Disembunyikannya tangannya yang gemetar,
perlahan Ayu duduk diteras. Sambil menatap jauh ke seberang. Dari teras pondok
si mbah Ayu bisa menyaksikan hamparan kota seberang. Kalau malam kota itu akan
nampak berkelap-kelip karena cahaya lampu. Cukup dari sana dia memandang seakan
–akan itu rumah orang tuanya. Dan rasa letihnya pun hilang.
“Yu….ini
pisang gorengnya.” Tiba-tiba si mbah sudah berdiri dibelakang Ayu dengan lima
biji gorengan pisang.
“Ini
sudah Mbah pilih ,pisang yang tidak begitu mateng.” Sambil membungkuk si mbah
menyodorkan pisang goreng ke Ayu. Mbah memang agak bungkuk mungkin karena sering
memikul beban yang berat. “Berarti kalau aku sering menjinjing air di
kepala,lama-lama bisa kayak si mbah.” Pikir Ayu kacau. Di ambilnya satu pisang
goreng dan dimasukkan kemulutnya. Sambil mengunyah dia menikmati karya si Mbah
Gunung.
“Hem….begitu
gurih, rasanya beda.” Makan satu jadi pingin lagi. Tidak terasa gorengan pisang
di piring sudah habis. Dan si Mbah pun sudah pergi ke kebun memetik kopi.
Tinggal Ayu sendirian berteman ayam-ayam yang berkeliaran di halaman.
“Ternyata
bengini cara Mbah Gunung menyayangiku. Untuk mendapatkan makanan kesukaan harus
mengerjakan tugas dulu. Tapi si Mbah tak pernah memaksaku untuk ikut memetik
kopi. Mungkin Mbah takut aku digigit semut hitam. Ah…. Mbah andai dirimu masih
ada pasti kupeluk sayang karena dirimu aku jadi bisa membuat minyak tandusan.”
Gumam Ayu sambil menantap foto Mbah Gunung.
Salam
Literasi
#thepowerofkepepet
#pikir15menit
#nulis15menit
#kasihsayang
#Feb10AISEIWritingChallenge
Bagus sekali bu kisahnya sata suka
BalasHapusTerimakasih
Hapuskeren
BalasHapusMantap Bunda lanjutkan
BalasHapusSiap
HapusMesti jarang marut, jadi kena parutan, hehehe. Keren
BalasHapusBenar pak, he he he
Hapus