NI LUH
Serpih
dinding paras ini terlalu rapuh. Remah kikisan perlahan luruh bercampur debu di jalan setapak diantara tebing. Tak cukup
membuat goyah hati gadis kecil berambut lusuh tuk menysir. Demi lembaran rupiah
terkepal di tanganl. Tawanya begitu
manis terdengar. Selalu bersiul bersahatutan dengan burung-burung pipit
diantara semak di atas tebing. Cadasnya
kerikil menjadi pahat untuk dirimu mengukir padas . Berkelok garismu tergores
didinding, sungguh hati yang manis. Kulihat bening matamu mengalahkan bintang
kala gelap dalam lorong itu. Cukup langit dan hembusan angin penghangat tubuh
mungilmu. Dengan senyummu kau sambut
lambaian angin dingin menjadi cerita hidupmu . cukup dengan alunan seruling
jangkrik pun mulai berkeliling menjadi temanmu malam itu.
Pagi
ini namapak gadis kecil itu menjinjing batu paras di kepalanya. Tubuh
mungilnya begitu kuat menopang
jinjingannya. Entah berapa putaran sudah kulihat ia bolak-balik dengan batu
paras diatas kepalanya. Beberapa saat
kemudian nampak dia mulai kelelahan, berkali-kali disekanya keringat dikening.
“Istirahat dulu nak.” Aku menawarkan segelas air minum. Dengan tangan gemetar
dia meraih air yang ku tawarkan.
Kita
pun duduk di dekat tumpukan batu paras. Tak ku hiraukan kesibukan para penggali
paras saat itu. “Apa kamu tidak belajar hari ini?” aku mulai membuka
percakapan. Gadis itu menundukkan kepala sambil memainkan kerajangnya. Ku tatap
wajah gadis itu. Nampak sendu dan menyimpan duka. Akhirnya ku usap rambutnya
yang berantakan. “Aku sudah tidak bisa belajar lagi, Om. Aku tidak punya HP.
Aku kerja dulu biar bisa beli HP. Ta….tapi tugas, nanti aku kerjakan. Setelah
dapat upah.” Gadis itu menjawab sambil
menyembunyikan wajah.
Belum
sempat aku menjawab. Gadis itu meloncat dan berlari ke pekerja lainnya. Nampak
dia berteriak riang untuk dibantu mengisi batu paras di atas kepalanya. “Anak
yang bersemangat.” Gumamku dalam hati.
Dari
jauh aku diam-diam mengamati gadis kecil itu. Anak itu ceria berbaur dengan
para pekerja batu paras. Sesekali terdengar gurauannya memecah lelahnya.
“Ingat upahku hari ini lima puluh ribu ya….Bu Bos.”
Teriak gadis kecil itu kepada istriku yang menjadi pengelola batu paras di daerahku. “Memang kamu dapat
berapa putaran?” tanya istriku.
“sudah
20 putaran!” teriak gadis itu dengan kepala menjinjing batu paras. “ Hebat!!!!
Nanti upah mu, di pakai apa?” tanya istriku kala itu.
“Ah………Bu
Bos, kepo aja!” gurau gadis kecil itu. “Rahasialah…..Paling juga untuk siapin
beli HP. Kalau beli laptop, jauh kayaknya Bu Bos.” Rajuk gadis kecil itu.
Semenjak
itu aku tak pernah lagi melihat gadis kecil itu. Setiap Hari Sabtu dan Minggu
biasanya dia selalu ikut berbaur dengan para pekerja. Entah kenapa aku mulai teringat lagi dengan
dia. Rasanya sudah sepuluh tahunan lebih tidak bertemu. “ e….. melamun ya..”
ada suara lembut menhalau lamunanku. Aku pun terkaget. Dan ternyata istriku
sudah duduk di sampingku dengan menyodorkan kopi hangat kesukaanku.
“
Mikir apa toh, pak. Anak-anak sudah besar, sudah pada mandiri belajar. Mikir
biaya sekolah ya?” kata istriku sambil menyeringai. Senyumku hadir kala itu
untuk menhalau resah istriku.
“nggak
lah Bu, aku Cuma teringat. Itu anak perempuan kecil kira-kira sepuluh tahun
yang lalu, pernah ikut ngangkut batu paras kita.” Jawabku sambil menyeruput
kopi buatannya.
Nampak
istriku menarik napas sambil menyelodorkan kakinya agak menjauh dari kursinya.
“Ku dengar sekarang dia diajak pamannya .” sahut istriku dengan pandangan jauh,
jelas dari raut wajahnya dia terkenang dangan gadis itu. “Aku dapat info dari
pekerja lainnya, katanya pamannya itu kaya raya di kota. Punya usaha garmen.”
Jawab istriku sambil tersenyum. “ Semoga anak itu masih inget kita, ya pak. Aku
kangen juga.”kata istriku lagi sambil beranjak
menuju ruang tengah karena ada bunyi
telpon.
Tinggallah
aku sendiri di teras rumah. Di temani secangkir kopi hangat buatan istri
tercinta. Sesaat aku sibukkan diri membaca koran hari ini. Tiba –tiba aku
mendengar seseorang berteriak di seberang jalan.
“Om..om..
Bu Bos mana????” teriak yang diseberang. Aku terperanjat. Ku amati dengan
seksama . Gadis itu tetap melampai di depan mobilnya.
“O…ala…Buk…Buk..!
teriakku sambil bergegas membuka pintu. Nampak istriku tergopoh-gopoh keluar
sambil memegang HP.
Betapa
kagetnya kita. Setelah lama terperanjat ternyata itu gadis kecil yang dulu kita
kenal. Sekarang sudah tumbuh menjadi gadis remaja cantik dengan fasilitas yang
wah…..
“Ni
Luh…..!” tebak istriku setengah tak yakin. “ Ya……Bu Bos. Aku Ni Luh.” Merekapun
berpelukan. Seorang bapak separuh baya
turun dari mobil bersama perempuan .
Dari gaya berpakaian sepertinya
mereka paman dan bibi yang mengajak Ni
Luh sekarang. Kamipun bercerita di teras rumah tentang bagaimana Ni Luh sampai
seperti ini.
Saat
itu istriku menemani Ni Luh ke lokasi penambangan batu paras. Ni Luh berlari
seakan tak sabaran ingin bertemu pekerja yang dulu.
Betapa
kagetnya Ni Luh melihat batu paras bertumpuk penuh lumut, seperti membentuk
ekosistem baru. Di rabanya batu paras itu. Seakan dia terbawa masa lalu. “Di
tempat ini dulu aku mengorek rupiah. Batu ini membuat aku makan dan bertahan.
Suara ibu-ibu yang menghiburku dimana. Apa mereka punya pekerjaan baru?’ hati
Ni Luh bertanya.
“
Bu Bos. Ada apa dengan usaha ini?” tanya Ni Luh sambil menyeka air matanya.
Rindu yang lama dipendamnya , tak seperti dalam bayangan. Tak dilihatnya lagi
keseruan para sopir truk saat meneriaki ibu-ibu menjinjing batu paras. “ Usaha
Ibu lama sudah tidak jalan, Nak. Corona
ini membuat tidak ada pesanan. Jadi terpaksa mereka juga istirahat dulu. Tapi
Ni Luh , mereka sekarang berkebun . “ kata Ibu Bos sambil memeluk Ni Luh.
“Ah……pelukan
ini masih seperti dulu. Selalu menenangkan hatiku.” Bisik hati Ni LUh.
Merekapun sibuk melihat gudang. Ternyata alat-alat para pekerja berderet
tersusun rapi. “Bu Bos. Ini keranjangku kan. Ini lihat Masih ada namaku
tertulis. Ni….Luh.” dia menujuk keranjang kecil tergantung ditembok gudang.
“Itu
kenanganmu Nak, mana mungkin Ibu membuang mu.” Penjelasan Bu Bos membuat Ni luh
tersenyum. “ Ah……Bu Bos memang baik sekali. Dulu saat aku bekerja beliau selalu
menggandakan upahku. Hingga aku bisa membeli ponsel bekas. Kalau tidak …..
mungkin aku tidak bisa bertemu dengan keluarga ayahku di kota. “ Ni Luh
terbayang masa lalunya yang sulit setelah kepergian ayah dan ibunya, akibat
kecelakaan itu. Dengan berat hati Ni Luh meninggalkan tempat penambangan batu
paras itu. Karena terdengar suara
tantenya memanggil.
Ni
Luh pun harus berpamitan untuk kembali ke kota bersama paman dan tantenya.
Sebelum meninggalkan rumah Ni Luh member kami bingkisan sebagai kenang-kenangan
katanya. “Ah…. Ni Luh anak manis yang selalu menghibur para pekerja dengan
celotehannya.” Akhirnya kita pun rela melepas Ni Luh dengan lambaian tangan.
“Pergilah nak, semoga kelak hidupmu menjadi lebih baik.” Ku seka air mata
bahagai melihat Ni Luh lenyap dari pandangan.
Ku
buka bingkisan itu. Dengan penuh tanda tanya, satu persatu pembungkusnya ku
robek karena tak sabar. Iatriku sampai heran “kenapa pak?” istriku tertawa
melihatku sibuk membuka bingkisan dari Ni Luh. “Penasaran aja Bu.” Jawabku sekenanya.
“Wah……Bu
coba lihat! Ini luar biasa!” istriku berbalik mendekatiku.” Mana Pak?” istriku
merebut apa yang ku pegang. Nampak raut wajahnya sumbringah dan berlinang air mata. “ Ni Luh….dimana kau
dapat foto ini?’ istriku menangis sambil memelukku. Kami bahagia ternyata Ni
Luh punya kenangan bersama akami dan para pekerja. Dia mengirmkan bingkisan
indah. Sebuah photo saat kita bekerja bersama.
Salam
literasi
#Day2pebruariiseiwritingchalege2021
Komentar
Posting Komentar